Blog ini berisikan hasil dan proses pembelajaran Agama Hindu mulai dari tingkat SD - SMU di sekolah Madania, Telaga Kahuripan - Parung - Bogor
Senin, 07 November 2016
Yadnya dalam Mahabharata
Minggu, 25 September 2016
Tugas siwa kelas V SD (Pencapaian Moksa melalui Catur Marga)
Minggu, 21 Agustus 2016
Samskara
By: I Gede Aidantha Sidra 9E
Samskara Hindu di Indonesia dan India
Kata pengantar
Daftar Isi
Pendahuluan
Samskara Hindu di Indonesia
Samskara Hindu di India
Persamaan Dan perbedaan Samskara Hindu di Indonesia dan India
Kesimpulan
Puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kasih dan cinta kepada kita, sehingga saya dapat menyelesaikan entri yang berjudul "Samskara" saya membuat entri ini sebagai pekerjaan di sekolah saat pelajaran agama Hindu saya berterima kasih kepada source yang saya telah temukan di internet.
Pendahuluan
Weda adalah kitab suci umat Hindu, merupakan sumber dan jiwa
dari mana filsafat (darsana) dan peradaban India berkembang. Ada semacam
perkembangan gradual pemikiran ke arah yang lebih filsafati dari Mantra
Samhita, Brahmana, Aranyaka dan Upanisad.
Zaman Brahmana ditandai dengan elaborasi ritual-ritual yang
rumit. Zaman Aranyaka praktek meditasi pada simbol-simbol tertentu. Zaman
Upanisad secara tegas menolak ritual yajna, sebaliknya menekankan pada aspek
pengetahuan Atman (tattwa jnana) yang diyakini mampu membawa umat manusia
mencapai tujuan tertinggi, yaitu moksa, bebas dari belenggu duniawi.
Mengajarkan agar manusia mau meningkatkan kualitas kediriannya dari manusia
yang bersifat bhuta menjadi manusia yang bersifat dewa.
Umat Hindu yang belum sampai pada pemikiran filsafat, Hindu
Dharma memberikan kebebasan bagi umatnya untuk melakukan pemujaan sesuai dengan
keyakinan dan kemampuan mereka masing-masing. Kata “Samskara” berasal dari
bahasa sansekerta yang memiliki banyak arti, diantaranya yang erat kaitannyadengan
pelaksanaan yadnya. Maka kata samskara berarti membudayakan, membiasakan,
menyucikan, menjadikan sempurna, dan dapat pula berarti upacara keagamaan.
Samskara Hindu di Indonesia
1. Magedong- gedongan (Garbhadhana Samskara)
Upacara ini dilaksanakan pada saat kandungan berusia 7 bulan
.
Sarana :
1. Pamarisuda:
Byakala dan prayascita.
2. Tataban:
Sesayut, pengambean, peras penyeneng dan sesayut pamahayu tuwuh.
3. Di depan sanggar pemujaan : benang hitam satu gulung kedua
ujung dikaitkan pada dua dahan dadap, bambu daun talas dan ikan air tawar,
ceraken (tempat rempah-rempah).
Waktu Upacara Garbhadhana dilaksanakan pada saat kandungan
berusia 210 hari (7 bulan). Tidak harus persis, tetapi disesuaikan dengan hari
baik. Tempat Upacara Garbhadhana dilaksanakan di dalam rumah, pekarangan,
halaman rumah, di tempat permandian darurat yang khusus dibuat untuk itu, dan
dilanjutkan di depan sanggar pemujaan (sanggah kamulan). Pelaksana Upacara ini
dipimpin oieh Pandita, Pinandita atau salah seorang yang tertua (pinisepuh).
Tata Pelaksanaan :
1. lbu yang sedang hamil terlebih dahulu dimandikan
(siraman) di parisuda, dilanjutkan dengan mabyakala dan prayascita.
2. Si lbu menjunjung tempat rempah-rempah, tangan kanan
menjinjing daun talas berisi air dan ikan yang masih hidup.
3. Tangan kiri
suami memegang benang, tangan kanannya memegang bamboo runcing.
4. Si Suami sambil menggeser benang langsung menusuk daun
talas yang dijinjing si Istri sampai air dan ikannya tumpah.
5. Selanjutnya melakukan persembahyangan
memohon keselamatan.
6. Ditutup dengan
panglukatan dan terakhir natab
2. Upacara kelahiran (Jatakarma Samskara).
Upacara ini dilaksanakan pada waktu bayi baru dilahirkan.
Upacara ini adalah sebagai ungkapan kebahagiaan atas kehadiran si kecil di
dunia.
Sarana :
1. Dapetan, terdiri dari nasi berbentuk tumpeng dengan lauk
pauknya (rerasmen) dan buah buahan.
Untuk menanam ari-ari (mendem ari-ari) diperlukan sebuah
kendil (periuk kecil) dengan tutupnya atau sebuah kelapa yang airnya dibuang.
Waktu Upacara Jatakarma dilaksanakan pada waktu bayi baru dilahirkan dan telah
mendapat perawatan pertama.
Tempat Upacara Jatakarma dilaksanakan di dalam dan di depan
pintu rumah. Pelaksana Upacara kelahiran dilaksanakan atau dipimpin oleh salah
seorang keluarga yang tertua atau dituakan, demikian juga untuk menanam
(mendem) ari-arinya. Dalam hal tidak ada keluarga tertua, misalnya, hidup di
rantauan, sang ayah dapat melaksanakan upacara ini.
Tata Cara :
1. Bayi yang baru lahir diupacarai dengan banten dapetan,
canang sari, canang genten, sampiyan dan penyeneng. Tujuannya agar atma / roh
yang menjelma pada si bayi mendapatkan keselamatan.
2. Setelah ari-ari dibersihkan, selanjutnya dimasukkan ke
dalam kendil lalu ditutup. Apabila mempergunakan kelapa, kelapa itu terlebih
dahulu dibelah menjadi dua bagian, selanjutnya ditutup kernbali. Perlu diingat
sebelum kendil atau kelapa itu digunakan, pada bagian tutup kendil atau belahan
kelapa bagian atas ditulisi dengan aksara OM KARA (OM) dan pada dasar alas
kendil atau bagian bawah kelapa ditulisi aksara AH KARA (AH) .
3. Kendil atau
kelapa selanjutnya dibungkus dengan kain putih dan di dalamnya diberi bunga.
4. Selanjutnya kendil atau kelapa ditanam di halaman rumah,
tepatnya pada bagian kanan pintu ruangan rumah untuk anak Iaki-laki, dan bagian
kiri untuk wanita bila dilihat dari dalam rumah.
Upacara ini merupakan cetusan rasa bahagia dan terima kasih
dari kedua orang tua atas kelahiran anaknya, walaupun disadari bahwa hal
tersebut akan menambah beban baginya.
Kebahagiaannya terutama disebabkan beberapa hal antara lain
:
• Adanya keturunan yang diharapkan akan dapat melanjutkan
tugas-tugasnya terhadap leluhur dan masyarakat.
• Hutang kepada
orang tua terutama berupa kelahiran telah dapat dibayar.
3. Upacara kepus puser
Upacara kepus puser atau pupus puser adalah upacara yang
dilakukan pada saat puser bayi lepas.
Sarana :
1. Banten
penelahan: Beras kuning, daun dadap.
2. Banten kumara: Hidangan berupa nasi putih kuning,
beberapa jenis kue, buahbuahan (pisang emas), canang, lengawangi, burat wangi,
canang sari.
3. Banten labaan:
Hidangan/ nasi dengan lauk pauknya.
4. Segehan empat buah dengan warna merah, putih, kuning, dan
hitam. Masingmasing berisi bawang, jahe dan garam.
Waktu Upacara kepus puser dilaksanakan pada saat bayi sudah
kepus pusernya, umumnya pada saat bayi berumur tiga hari. Tempat Upacara ini
dilaksanakan di dalam rumah terutama di sekitar tempat tidur si bayi. Pelaksana
Untuk melaksanakan upacara ini cukup dipimpin oleh keluarga yang tertua
(sesepuh), atau jika tidak ada, orang tua si bayi.
Tata Cara :
1. Puser bayi yang telah lepas dibungkus dengan kain putih
lalu dimasukkan ke dalam "ketupat kukur" (ketupat yang berbentuk
burung tekukur) disertai dengan rempah-rempah seperti cengkeh, pala, lada dan
lain-lain, digantung pada bagian kaki dari tempat tidur si bayi.
2. Dibuatkan
kumara (pelangkiran) untuk si bayi, tempat menaruh sesajian.
3. Di tempat menanam ari-ari dibuat sanggah cucuk, di
bawahnya ditaruh sajen segehan nasi empat warna, dan di sanggah cucuk diisi
dengan banten kumara.
4. Tidak ada mantram khusus untuk upacara ini, dipersilakan memohon
keselamatan dengan cara dan kebiasaan masing-masing.
4. Upacara bayi umur 12 hari (Upacara Ngelepas Hawon)
Setelah bayi berumur 12 hari dibuatkan suatu upacara yang
disebut Upacara Ngelepas Hawon. Sang anak biasanya baru diberi nama (nama
dheya) demikian pula sang catur sanak atau keempat saudara kita setelah dilukat
berganti nama di antaranya: Banaspati Raja, Sang Anggapati, Banaspati dan
Mrajapati.
Sarana Upakara
yang kecil : Peras, Penyeneng, Jerimpen tunggal dll, semampunya.
Upacara yang biasa (madia) : Peras, Penyeneng, Jerimpen
tunggal, di sini hanya ditambah dengan penebusan.
Upacara yang besar : Seperti upacara madia hanya lebihnya
jerimpen tegeh dan diikuti wali joged atau wayang lemah.
Waktu Upacara ngelepas hawon dilaksanakan pada saat si bayi
sudah berumur genap 12 hari. Tempat Upacara ini dilaksanakan di dalam rumah
pekarangan yaitu di sumur (permandian), di dapur, serta di sanggah kamulan.
Pelaksana Untuk melaksanakan upacara ini dipimpin oieh keluarga yang paling
dituakan.
Tata Cara :
Pelaksanaan upacara ini ditujukan kepada si ibu dan si anak.
Upacaranya dilakukan di dapur, di permandian dan di kemulan berfungsi memohon
pengelukatan ke hadapan Bhatara Brahma, Wisnu dan Siwa. Inti pokok upacara yang
ditujukan :
Kepada si ibu adalah: banten byakaon dan prayascita disertai
dengan tirta pebersihan dan pengelukatan.
Kepada si bayi adalah: banten pasuwungan yang terdiri dari
peras, ajuman, daksina, suci. Soroan alit pengelukatan, dan lainnya.
Banten pengelukatan di dapur, permandian dan kemulan pada
pokoknya sama, hanya saja warna tumpengnya yang berbeda. Yaitu:
· tumpeng merah
untuk di dapur
· tumpeng hitam
untuk di permandian dan
· tumpeng putih
untuk di kemulan.
Inti pokok banten pengelukatan tersebut antara lain: peras
dengan tumpeng, ajuman, daksina, pengulapan, pengarnbian, penyeneng dan sorotan
alit serta periuk tempat tirta pengelukatan.
5. Upacara kambuhan (umur 42 hari)
Upacara ini dilakukan setelah bayi berusia 42 hari.
Tujuannya untuk pembersihan lahir batin si bayi dan ibunya, di samping juga
untuk membebaskan si bayi dari pengaruh-pengaruh negative (mala).
Sarana Untuk upacara kecil:
1. Upakara untuk
ibu : Byakala, prayascita, tirtha panglukatan dan pabersihan.
2. Upakara untuk
si bayi : Banten pasuwungan, banten kumara dan dapetan.
Untuk upacara yang lebih besar
1. Upakara untuk
ibu : Byakala, prayascita, tirtha panglukatan dan pabersihan.
2. Upakara untuk si bayi : Banten pasuwungan, banten kumara,
jejanganan, banten pacolongan untuk di dapur, di permandian dan di sanggah
kamulan serta tataban.
Waktu Upacara kambuhan dilaksanakan pada saat bayi berusia
42 hari. Tempat Keseluruhan rangkaian upacara kambuhan dilaksanakan di dalam
lingkungan rumah, di dapur, di halaman rumah dan di sanggah kamulan. Pelaksana
Untuk upacara kambuhan dipimpin oleh seorang pinandita atau pandita.
Tata cara Untuk upacara kecil:
1. Kedua orang
tua si bayi mabyakala dan maprayascita.
2. Si bayi
beserta kedua orang tua diantar ke sanggah kamulan untuk natab.
Tata Cara Untuk upacara yang lebih besar :
1. Si bayi
dilukat di dapur, di permandian, dan terakhir di sanggah kamulan.
2. Kedua orang
tua si bayi mabyakala dan maprayascita
3 Si bayi beserta
kedua orang tuanya natab di sanggah kamulan
Upacara Tutug Kambuhan (Upacara setelah bayi berumur 42
hari), merupakan upacara suci yang bertujuan untuk penyucian terhadap si bayi
dan kedua orang tuanya. Penyucian kepada si Bayi dimohonkan di dapur, di
sumur/tempat mengambil air dan di Merajan/Sanggah Kemulan (Tempat Suci
Keluarga). Upacara Tutug Sambutan (Upacara setelah bayi berumur 105 hari),
adalah upacara suci yang tujuannya untuk penyucian Jiwatman dan penyucian badan
si Bayi seperti yang dialami pada waktu acara Tutug Kambuhan. Pada upacara ini
nama si bayi disyahkan disertai dengan pemberian perhiasan terutama gelang,
kalung/badong dan giwang/subeng, melobangi telinga.
Upacara Mepetik merupakan upacara suci yang bertujuan untuk
penyucian terhadap si bayi dengan acara pengguntingan / pemotongan rambut untuk
pertama kalinya. Apabila keadaan ubun-ubun si bayi belum baik, maka rambut di
bagian ubun-ubun tersebut dibiarkan menjadi jambot (jambul) dan akan digunting
pada waktu upacara peringatan hari lahir yang pertama atau sesuai dengan
keadaan. Upacara Mepetik ini adalah merupakan rangkaian dari upacara Tutug
Sambutan yang pelaksanaannya berupa 1 (satu) paket upacara dengan upacara Tutug
Sambutan.
6. Upacara nelu bulanin (umur 3 bulan) - Niskramana Samskara
Upacara yang dilakukan pada saat bayi berumur 105 hari, atau
tiga bulan dalam hitungan pawukon.
Sarana Upakara
kecil: panglepasan, penyambutan, jejanganan, banten kumara dan tataban.
Sarana Upakara besar: panglepasan, penyambutan, jejanganan,
banten kumara, tataban, pula gembal, banten panglukatan, banten turun tanah.
Waktu Upacara ini dilakukan pada saat anak berusia 105 hari.
Bila keadaan tidak memungkinkan, misalnya, keluarga itu tinggal di rantauan dan
ingin upacaranya dilangsungkan bersama keluarga besar sementara si anak terlalu
kecil untuk dibawa pergi jauh, upacara bisa ditunda. Biasanya digabungkan
dengan upacara 6 bulan. Tempat Seluruh rangkaian upacara bayi tiga bulan
dilaksanakan di lingkungan rumah. Pelaksana Upacara ini dipimpin oleh Pandita
atau Pinandita.
Tata Cara :
1. Pandita /
Pinandita memohon tirtha panglukatan.
2. Pandita /
Pinandita melakukan pemujaan, memerciki tirtha pada sajen dan pada si bayi.
3. Bila si bayi akan memakai perhiasan-perhiasan seperti
gelang, kalung dan lain-lain, terlebih dahulu benda tersebut diparisudha dengan
diperciki tirtha.
4. Doa dan persembahyangan untuk si bayi, dilakukan oleh ibu
bapaknya diantar oleh Pandita / Pinandita.
5. Si bayi
diberikan tirtha pengening (tirtha amertha) kernudian ngayab jejanganan.
6. Terakhir si
bayi diberi natab sajen ayaban, yang berarti memohon keselamatan.
7. Upacara satu oton - (Otonan)
Upacara yang dilakukan setelah bayi berumur 210 hari atau
enam bulan pawukon. Upacara ini bertujuan untuk menebus kesalahan-kesalahan dan
keburukan-keburukan yang terdahulu, sehingga dalam kehidupan sekarang mencapai
kehidupan yang lebih sempurna.
Sarana
Upakara kecil: Prayascita, parurubayan, jajanganan, tataban,
peras, lis, banten pesaksi ke bale agung (ajuman) sajen turun tanah dan sajen
kumara.
Upakara yang lebih besar: Prayascita, parurubayan,
jejanganan, tataban, peras, lis, banten pesaksi ke bale agung (ajuman) sajen
turun tanah, sajen kumara, ditambah gembal bebangkit.
Waktu Upacara wetonan dilaksanakan pada saat bayi berusia
210 hari. Pada saat itu kita akan bertemu dengan hari yang sama seperti saat
lahimya si bayi (pancawara, saptawara, dan wuku yang sama). Selanjutnya boleh
dilaksanakan setiap 210 hari, semacam memperingati hari ulang tahun. Tentu saja
semakin dewasa, semakin sederhana bantennya.
Tempat Seluruh rangkaian upacara ini dilaksanakan di rumah.
Pelaksana Upacara dipimpin oieh Pandita / Pinandita atau oleh keluarga tertua.
Tata cara:
1. Pandita / Pinandita sebagai pimpinan upacara melakukan
pemujaan untuk memohon persaksian terhadap Hyang Widhi Wasa dengan segala
manifestasinya.
2. Pemujaan
terhadap Siwa Raditya (Suryastawa).
3. Penghormatan
terhadap leluhur.
4. Pemujaan saat pengguntingan rambut (potong rambut). Ini
dilakukan pertama kali, untuk wetonan selanjutnya tidak dilakukan.
5. Pemujaan saat
pawetonan dan persembahyangan.
8. Upacara tumbuh gigi (Ngempugin)
Upacara yang dilakukan pada saat anak tumbuh gigi yang
pertama. Upacara ini bertujuan untuk memohon agar gigi si anak tumbuh dengan
baik.
Sarana :
Upacara kecil : Petinjo kukus dengan telor.
Waktu Upacara ini dilaksanakan pada saat bayi tumbuh gigi
yang pertama dan sedapat mungkin tepat pada waktu matahari terbit. Tempat
Keseluruhan rangkaian upacara dilaksanakan di rumah. Pelaksana Upacara ini
dipimpin oleh seorang pandita / pinandita atau salah seorang anggota keluarga
tertua.
Tata Cara :
1. Pemujaan terhadap Hyang Widhi Wasa dengan mempersembahkan
segala sesajen yang tersedia.
2. Si bayi natab
mohon keselamatan.
3. Selesai upacara si bayi diberikan sesajen tadi untuk
dinikmatinya dan selanjutnya gusinya digosok-gosok dengan daging dari sesajen.
9. Upacara tanggalnya gigi pertama (Makupak)
Upacara ini bertujuan mempersiapkan si anak untuk
mempelajari ilmu pengetahuan.
Sarana :
1. Banten byakala
dan sesayut tatebasan.
2. Canang sari.
Waktu Saat si anak untuk pertama kalinya mengalami tanggal
gigi. Upacara ini dapat pula disatukan dengan wetonan berikutnya. Tempat
Keseluruhan rangkaian upacara dilaksanakan di rumah. Pelaksana Upacara dipimpin
oleh keluarga tertua.
Tata Cara :
1. Pemujaan
mempersembahkan sesajen kehadapan Hyang Widhi Wasa.
2. Si anak
bersembahyang.
3. Setelah
selesai sembahyang, dilanjutkan dengan natab sesayut / tetebasan.
4. Si anak
diperciki tirtha.
10. Upacara menek deha (Rajaswala)
Upacara ini dilaksanakan pada saat anak menginjak dewasa.
Upacara ini bertujuan untuk memohon ke hadapan Hyang Samara Ratih agar
diberikan jalan yang baik dan tidak menyesatkan bagi si anak.
Sarana :
Banten pabyakala, banten prayascita, banten dapetan, banten
sesayut tabuh rah (bagi wanita), banten sesayut ngraja singa (bagi Iaki-laki),
banten padedarian.
Waktu Upacara menginjak dewasa (munggah deha) dilaksanakan
pada saat putra/ putrid sudah menginjak dewasa. Peristiwa ini akan terlihat
melalui perubahan-perubahan yang nampak pada putra-putri. Misalnya pada anak
Iaki-laki perubahan yang menonjol dapat kita saksikan dari sikap dan suaranya.
Pada anak putri mulai ditandai dengan datang bulan (menstruasi) pertama.
Orang tua wajib melaksanakan upacara meningkat dewasa
(munggah deha) ini. Tempat Upacara dilaksanakan di rumah. Pelaksana Dilakukan
oleh Pandita / Pinandita atau yang tertua di dalam lingkungan keluarga.
Tata Cara :
Dalam upacara meningkat dewasa, pertama-tama putra / putri
yang diupacarai terlebih dahulu mabyakala dan maprayascita. Setelah itu
dilanjutkan dengan natab sesayut tabuh rah (bagi yang putri), sayut raja singa
bagi yang putra.
Ciri-ciri anak telah meningkat dewasa.
Siklus kehidupan makhluk didunia adalah lahir, hidup dan
mati (kembali keasalnya). Manusia hidup di dunia mengalami beberapa phase
yaitu, fase anak-anak, pada fase ini anak dianggap sebagai raja, semua
permintaannya dipenuhi. Phase berikutnya adalah pada masa anak meningkat
dewasa. Saat ini anak itu tidak lagi dianggap sebagai raja, tetapi sebagai
teman. Orang tua memberikan nasehat kepada anak-anaknya dan anak itu bisa menolak
nasehat orang tuanya bila kondisi dan lingkungannya tidak mendukung, artinya
terjadi komunikasi timbal balik atau saling melengkapi. Dan yang terakhir
adalah phase tua, di sini anak tadi menjadi panutan bagi
penerusnya.
Sebagai tanda dari kedewasaan seseorang adalah suaranya
mulai membesar /berubah/ngembakin (bahasa Bali) bagi laki-laki dan bagi
perempuan pertama kalinya ia mengalami datang bulan. Sejak saat ini seseorang
mulai merasakan getar-getar asmara, karena Dewa Asmara mulai menempati lubuk
hatinya. Bila perasaan getar-getar asmara ini tidak dibentengi dengan baik akan
keluar dari jalur yang sebenarnya.
Perasaan getar-getar asmara itu dibentengi melalui dua jalur
yaitu, jalur niskala, membersihkan jiwa anak dengan mengadakan Upacara yang
disebut Raja Sewala dan jalur sekala, dengan memberikan wejangan-wejangan yang
bermanfaat bagi dirinya.
Upacara Raja Sewala ini sesuai dengan apa yang diungkapkan
didalam Agastya Parwa bahwa, disebutkan ada tiga perbuatan yang dapat menuju
sorga, yaitu: Tapa (pengendalian), Yadnya (persembahan yang tulus iklas) dan
Kirti (perbuatan amal kebajikan) Upacara Raja Sewala merupakan Yadnya
(persembahan yang tulus iklas) yang membuat peluang bagi keluarganya untuk
masuk sorga.
Nilai pendidikan
Upacara Raja Sewala/meningkat dewasa yang dilakukan oleh
umat Hindu adalah merupakan salah satu jenis Upacara Manusa Yadnya yang
bertujuan untuk memohon kehadapan Sanghyang Widhi Waça (Tuhan Yang Maha Esa)
dalam menifestasinya sebagai Sang Hyang Semara Ratih, agar orang itu dibimbing,
sehingga ia dapat mengendalikan dirinya dalam menghadapi Pancaroba. Pada masa
pancaroba ini seseorang sangat rentan terhadap godaan-godaan khususnya godaan
dari Sad Ripu yaitu: Kroda (sifat marah), Loba (rakus/tamak), Kama (nafsu/keinginan),
Moha (kebingungan), Mada (kemabukan), dan Matsarya (rasa iri hati).
Pada Upacara ini juga terselip nilai pendidikan. Anak
diberikan wejangan-wejangan yang menyatakan bahwa dirinya telah tumbuh dewasa,
apapun yang akan diperbuatnya akan berakibat juga kepada orang tuanya. Jadi
anak itu tidak bebas begitu saja menerjunkan diri dalam pergaulan dimasyarakat.
Dia harus tahu mana yang pantas untuk dilakukan dan mana yang dilarang. Dalam
hal ini anak-anak juga merasa mendapat perhatian dari orang tuanya sehingga
menimbulkan rasa lebih hormat kepada orang tuanya.
Melalui Upacara Raja Sewala/Meningkat dewasa ini diharapkan
seseorang dapat meningkatkan kesucian pribadinya sehingga mampu memilih dan
memilah mana yang baik dan mana yang buruk.
11.Upacara potong gigi (mepandes / metatah)
Upacara ini bertujuan untuk mengurangi pengaruh Sad Ripu
yang ada pada diri si manak.
Sarana :
1. Sajen sorohan
dan suci untuk persaksian kepada Hyang Widhi Wasa.
2. Sajen pabhyakalan prayascita, panglukatan, alat untuk
memotong gigi beserta perlengkapannya seperti: cermin, alat pengasah gigi, kain
untuk rurub serta sebuah cincin dan permata, tempat tidur yang sudah dihias.
3. Sajen peras
daksina, ajuman dan canang sari, kelapa gading dan sebuah bokor.
4. Alat pengganjal yang dibuat dari potongan kayu dadap.
Belakangan dipakai tebu, supaya lebih enak rasanya.
Waktu Upacara ini dilaksanakan setelah anak meningkat
dewasa, namun sebaiknya sebelum anak itu kawin. Dalam keadaan tertentu dapat
pula dilaksanakan setelah berumah tangga. Tempat Seluruh rangkaian upacara
potong gigi dilaksanakan di rumah dan di pemerajan. Pelaksana Upacara potong
gigi dilaksanakan oleh Pandita/Pinandita dan dibantu oleh seorang sangging
(sebagai pelaksana langsung).
Tata Cara :
1. Yang
diupacarai terlebih dahulu mabhyakala dan maprayascita.
2. Setelah itu
dilanjutkan dengan muspa ke hadapan Siwa Raditya memohon kesaksian.
3. Selanjutnya naik ke tempat upacara menghadap ke hulu.
Pelaksana upacara mengambil cincin yang dipakai ngerajah pada bagian-bagian
seperti: dahi, taring, gigi atas, gigi bawah, lidah, dada, pusar, paha barulah
diperciki tirtha pesangihan.
4. Upacara
dilanjutkan oieh sangging dengan menyucikan peralatannya.
5. Orang yang diupacari diberi pengganjal dari tebu dan
giginya mulai diasah, bila sudah dianggap cukup diberi pengurip-urip.
6. Setelah diberi pengurip-urip dilanjutkan dengan natab
banten peras kernudian sembahyang ke hadapan Surya Chandra dan Mejaya-jaya.
Acuan
Sumber sastra mengenai upacara potong gigi adalah lontar
Kala Pati,kala tattwa, Semaradhana, dan sang Hyang Yama.dalam lontar kala Pati
disebutkan bahwa potong gigi sebagai tanda perubahan status seseorang menjadi
manusia sejati yaitu manusia yang berbudi dan suci sehingga kelak di kemudian
hari bila meniggal dunia sang roh dapat bertemu dengan para leluhur di sorga
Loka.Lontar Kala tattwa menyebutkan bahwa Bathara Kala sebagai putra Dewa Siwa
dengan Dewi Uma tidak bisa bertemu dengan ayahnya di sorga sebelum taringnya
dipotong. Oleh karena itu, manusia hendaknya menuruti jejak Bathara kala agar
rohnya dapat bertemu dengan roh leluhur di sorga.dalam lontar Semaradhana
disebutkan bahwa Bethara Gana sebagai putra Dewa Siwa yang lain dapat
mengalahkan raksasa Nilarudraka yang menyerang sorgaloka dengan menggunakan
potongan taringnya.
Selain itu disebutkan bahwa Bethara Gana lahir dari Dewi Uma
setelah Dewa Siwa dibangunkan Dari tapa semadhinya oleh Dewa Semara (Asmara)
namun kemudian Dewa Siwa menghukum Dewa Semara bersama istrinya, Dewi
Ratih,dengan membakarnya sampai menjadi abu. kemudian menyebarkan abu tersebut
ke dunia dan mengutuk manusia agar tidak bisa hidup tanpa berpasangan
(laki-perempuan) dalam suami istri. Dalam lontar Sang Hyang yama disebutkan
bahwa upacara potong gigi boleh dilaksanakan bila naka sudah menginjak dewasa, ditandai
dengan menstruasi untuk wanita dan suara yang membesar untuk pria. Biasanya hal
ini muncul di kala usia 14 tahun.
Tujuan Upacara Potong Gigi
Tujuan upacara potong gigi dapat disimak lebih lanjut dari
lontarkalapati dimana disebutkan bahwa gigi yang digosok atau diratakan dari
gerigi adalah enam buah yaitu dua taring dan empat gigi seri di atas.
Pemotongan enam gigi itu melambangkan symbol pengendalian terhadap sad Ripu
(enam musuh dalam diri manusia). Meliputi kama (hawa nafsu), Loba (rakus), Krodha
(marah), mada (mabuk), moha (bingung), dan Matsarya (iri hati). Sad Ripu yang
tidak terkendalikan ini akan membahayakan kehidupan manusia, maka kewajiban
setiap orang tua untuk menasehati anak-anaknya serta memohon kepada Hyang Widhi
Wasa agar terhindar dari pengaruh sad ripu.Makna yang tersirat dari mitologi
Kala Pati, kala Tattwa, dan Semaradhana ini adalah mengupayakan kehidupan
manusia yang selalu waspada agar tidak tersesat dari ajaran agama (dharma)
sehingga di kemudian hari rohnya dapat yang suci dapat mencapai surge loka
bersama roh suci para leluhur, bersatu dengan Brahman (Hyang Widhi).Dalam
pergaulan mudamudi pun diatur agar tidak melewati batas kesusilaan seperti yang
tersirat dari lontar
Semaradhana.
Upacara potong gigi biasanya disatukan dengan upacara
Ngeraja Sewala atau disebutkan pula sebagai upacara “menek kelih”, yaitu
upacara syukuran karena si anak sudah menginjak dewasa,meninggalkan masa
anak-anak menuju ke masa dewasa.
Urutan Upacara :
1. Setelah sulinggih ngarga tirta,mereresik dan mapiuning di
Sangah Surya,maka mereka yang akan mepandes dilukat dengan padudusan
madya,setelah itu mereka memuja Hyang raitya untuk memohon keselamatan dalam
melaksanakan upacara.
2. Potong rambut dan merajah dilaksanakan dengan tujuan
mensucikan diri serta menandai adanya peningkatan status sebagai manusia yaitu
meningalkan masa anak-anak ke masa remaja.
3. Naik ke bale tempat mepandes dengan terlebih dahulu
menginjak caru sebagai lambing keharmonisan,mengetukkan linggis tiga kali
(Ang,Ung,Mang) sebagai symbol mohon kekuatan kepada Hyang Widhi dan ketiak kiri
menjepit caket sebagai symbol kebulatan tekad untuk mewaspadai sad ripu.
4. Selama mepandes,air kumur dibuang di sebuah nyuh gading
afar tidak menimbulkan keletehan.
5. Dilanjutkan dengan mebiakala sebagai sarana penyucian
serta menghilangkan mala untuk menyongsong kehidupan masa remaja.
6. Mapedamel berasal dari kata “dama” yang artinya
bijaksana.Tujuan mapedamel setelah potong gigi adalah agar si anak dalam
kehidupan masa remaja dan seterusnya menjadi orang yang bijaksana,yaitu tahap
menghadapi suka duka kehidupan,selalu berpegang pada ajaran agama
Hindu,mempunyai pandangan luas,dan dapat menentukan sikap yang baik, karena
dapat memahami apa yang disebut dharma dan apa yang disebut adharma.Secara simbolis
ketika mepadamel,dilakukan sebagai berikut :
• Mengenakan kain putih,kampuh kuning,dan selempang samara
ratih sebagai symbol restu dari Dewa Semara dan Dewi Ratih (berdasarkan lontar
Semaradhana tersebut).
• Memakai benang pawitra berwarna tridatu (merah,putih,hitam)
sebagai symbol pengikatan diri terhadap norma-norma agama.
• Mencicipi Sad rasa yaitu enam rasa berupa rasa pahit dan
asam sebagai simbol agar tabah menghadapi peristiwa kehidupan yang
kadang-kadang tidak menyenangkan, rasa pedas sebagai simbol agar tidak menjadi
marah bila mengalamai atau mendengar hal yang menjengkelkan, rasa sepat sebagai
symbol agar taat ada peraturan atau norma-norma yang berlaku, rasa asin sebagai
simbol kebijaksanaan, selalu meningkatkan kualitas pengetahuan karena
pembelajaran diri, dan rasa manis sebagai symbol kehidupan yang bahagia lahir
bathin sesuai cita-cita akan diperoleh bilamana mampu menhadapi pahit getirnya
kehidupan, berpandangan luas, disiplin, serta enantiasa waspada dengan adanya
sad ripu dalam diri manusia.
7. Natab banten,tujuannya memohon anugerah Hyang Widhi agar
apa yang menjadi tujuan melaksanakan upacara dapat tercapai.
8. Metapak,mengandung makna tanda bahwa kewajiban orang tua
terhadap anaknya dimulai sejak berada dalam kandungan ibu sampai menajdi dewasa
secara spiritual sudah selesai,makna lainnya adalah ucapan terima kasih si anak
kepada orang tuanya karena telah memelihara dengan baik,serta memohon maaf atas
kesalahan-kesalahan anak terhadap orang tua,juga mohon doa restu agar selamat dalam
menempuh kehidupan di masa datang.
Demikianlah sekilas makna dari upacara potog gigi atau
mepandes.Istilah lainnya yang digunakan untuk Upacara ini di Bali adalah
mesangih.
12. Upacara Perkawinan (Pawiwahan / Wiwaha)
Hakekatnya adalah upacara persaksian ke hadapan Tuhan Yang
Maha Esa dan kepada masyarakat bahwa kedua orang yang bersangkutan telah
mengikatkan diri sebagai suami-istri.
Sarana
1. Segehan
cacahan warna lima.
2. Api takep (api
yang dibuat dari serabut kelapa).
3. Tetabuhan (air
tawar, tuak, arak).
4.
Padengan-dengan/ pekala-kalaan.
5. Pejati.
6. Tikar dadakan
(tikar kecil yang dibuat dari pandan).
7. Pikulan (terdiri dari cangkul, tebu, cabang kayu dadap
yang ujungnya diberi periuk, bakul yang berisi uang).
8. Bakul.
Waktu Biasanya dipilih hari yang baik, sesuai dengan
persyaratannya (ala-ayuning dewasa). Tempat Dapat dilakukan di rumah mempelai
Iaki-laki atau wanita sesuai dengan hokum adat setempat (desa, kala, patra).
Pelaksana Dipimpin oleh seorang Pendeta / Pinandita / Wasi / Pemangku.
Tata cara
1. Sebelum upacara natab banten pedengan-dengan, terlebih
dahulu mempelai mabhyakala dan maprayascita.
2. Kemudian mempelai mengelilingi sanggah Kamulan dan
sanggah Pesaksi sebanyak tiga kali serta dilanjutkan dengan jual beli antara
mempelai Iaki-laki dengan mempelai wanita disertai pula dengan perobekan tikar
dadakan oleh mempelai Iaki-laki.
3. Sebagai acara terakhir dilakukan mejaya-jaya dan diakhiri
dengan natab banten dapetan. Bagi Umat Hindu upacara perkawinan mempunyai tiga
arti penting yaitu :
- Sebagai upacara suci yang tujuannya untuk penyucian diri
kedua calon mempelai agar mendapatkan tuntunan dalam membina rumah tangga dan
nantinya agar bisa mendapatkan keturunan yang baik dapat menolong meringankan
derita orang tua/leluhur.
- Sebagai persaksian secara lahir bathin dari seorang pria
dan seorang wanita bahwa keduanya mengikatkan diri menjadi suami-istri dan
segala perbuatannya menjadi tanggung jawab bersama.
- Penentuan status kedua mempelai, walaupun pada dasarnya
Umat Hindu menganut sistim patriahat (garis Bapak) tetapi dibolehkan pula untuk
mengikuti sistim patrilinier (garis Ibu). Di Bali apabila kawin mengikuti
sistem patrilinier (garis Ibu) disebut kawin nyeburin atau nyentana yaitu
mengikuti wanita karena wanita nantinya sebagai Kepala Keluarga.
Upacara Pernikahan ini dapat dilakukan di halaman
Merajan/Sanggah Kemulan ( Tempat Suci Keluarga) dengan tata upacara yaitu kedua
mempelai mengelilingi Sanggah Kemulan ( Tempat Suci Keluarga ) sampai tiga kali
dan dalam perjalanan mempelai perempuan membawa sok pedagangan ( keranjang
tempat dagangan) yang laki memikul tegen-tegenan (barang-barang yang dipikul)
dan setiap kali melewati “Kala Sepetan”(upakara sesajen yang ditaruh di tanah)
kedua mempelai menyentuhkan kakinya pada serabut kelapa belah tiga.
Setelah tiga kali berkeliling, lalu berhenti kemudian
mempelai laki berbelanja sedangkan mempelai perempuan menjual segala isinya
yang ada pada sok pedagangan (keranjang tempat dagangan), dilanjutkan dengan
merobek tikeh dadakan (tikar yang ditaruh di atas tanah), menanam pohon kunir,
pohon keladi (pohon talas) serta pohon endong dibelakang sanggar
pesaksi/sanggar Kemulan (Tempat Suci Keluarga) dan diakhiri dengan melewati
"Pepegatan" (Sarana Pemutusan) yang biasanya digunakan benang
didorong dengan kaki kedua mempelai sampai benang tersebut putus.
Samskara Hindu di India
1. Wiwaha Samskara merupakan upacara perkawinan untuk
memasuki tingkat hidup grihastha asrama, dengan tujuan untuk melanjutkan garis
keturunan dan memenuhi kewajiban secara sempurna. Pelaksanaan Wiwaha Samskara
harus bersaksi kepada Sang Hyang Widhi Wasa melalui agni homa atau semacam
widhi wedana sehingga kedua mempelai dianggap bersih jasmani dan rohaninya,
selanjutnya dapat hidup sah sebagai suami istri baik secara duniawi maupun
spiritual.
2. Garbhadhana Samskara merupakan upacara persembahyangan
pembenihan pertama sebagai sakramen atau pembersihan terhadap kama-jaya dan
kama-ratih yaitu benih laki-laki yang disebut sukla (sperma) dan benih mempelai
wanita yang disebut swanita (ovum) secara rohaniah, dengan harapan apabila
terjadi pembuahan dan menjadi janin maka roh yang akan menjelma adalah roh yang
baik dan suci.
3. Pumsawana Samskara merupakan upacara untuk memohon putra,
yang biasanya dilakukan setelah umur kandungan mencapai tiga bulan. Upacara ini
dilakukan mengingat kelahiran seorang putra mempunyai arti tersendiri dalam keluarga
Hindu yaitu untuk membebaskan orang tuanya dari lembah kesengsaraan. Pada
keluarga Hindu di Bali terdapat pula upacara semacam ini yang disebut dengan
upacara “Magedong-gedongan” tetapi bedanya, upacara magedong-gedongan ini
dilakukan setelah umur kandungan mencapai enam bulan atau lebih. Upacara ini
bertujuan sebagai pembersihan dan pemeliharaan atas keselamatan ibu dan
kandungannya, disertai harapan agar anak yang akan lahir kelak menjadi orang
yang berguna bagi masyarakat dan dapat memberi harapan orangtuanya.
4. Jatakarma Samskara merupakan upacara kelahiran bayi
dengan maksud menyampaikan rasa syukur (angayu bagia) kepada Sang Hyang Widhi
Wasa, dan memohon anugerah-Nya agar bayi itu selalu berada dalam keadaan
selamat. Beberapa hari setelah bayi lahir, juga diadakan acara lepas aon atau
puput puser yang bermakna membersihkan jasmani si bayi.
5. Namadheya Samskara merupakan upacara pemberian nama bayi
yang dilakukan pada hari ke sepuluh atau hari ke dua belas setelah bayi lahir.
Pemberian nama menurut kepercayaan Hindu harus benar-benar mempunyai makna,
misalnya diberi nama yang yang mengandung arti kesucian, kekuatan, kemakmuran,
kepuasan, dan lain-lain dengan harapan agar kelak anak itu memiliki sifat dan
karma sesuai dengan makna namanya.
6.Nishkramana Samskara merupakan upacara yang dilakukan
setelah anak itu mencapai umur 105 hari (3 bulan bali/kalender Hindu) sebagai
simbol penjemputan atma/jiwa bayi agar benar-benar memberi hidup yang
membahagiakan. Saat itu merupakan hari pertama bayi untuk berhubungan dengan
kekuatan-kekuatan alam atau kontak dengan dunia luar.
7. Annaprasana Samskara merupakan upacara pemberian makanan
yang pertama kali yaitu pada waktu umur anak mencapai 7 bulan (6 bulan Bali) di
mana anak yang diupacarai ditanakan nasi lembek berisi telur ayam, kemudian di
pagi-pagi buta anak itu diturunkan ke tanah (menginjak tanah).
8. Caudakarma Samskara merupakan upacara potong rambut yang
pertama, biasanya dilakukan pada waktu anak berumur antara satu sampai tiga
tahun. Rambut di bagian ubun-ubun tiak dipotong (disisakan sebagai jambot).
Namun dewasa ini kebiasaan seperti ini sudah pudar dan anak-anak dicukur biasa
saja, ubun-ubun masih tetap terlindung. Di dalam kitab Manu Smerti dikatakan
bahwa upacara ini dimaksudkan untuk memperoleh kebajikan spiritual bagi anak
itu.
9. Upanayana Samskara merupakan suatu upacara untuk mulai
bersekolah dalam batas umur panjang awal 5 tahun dan paling lambat 12 tahun.
Masa belajar ini disebut dengan Brahmacari asrama. Upacara yang sejenis dengan upanayana
samskara yang biasa dilakukan oleh orang-orang Bali dan Jawa yang beragama
Hindu adalah upacara “Pawintenan” yang berfungsi sebagai pembersihan diri dalam
rangka mempelajari ilmu pengetahuan, terutama pengetahuan keagamaan. Sedangkan
upacara pawintenan yang lebih besar (untuk menjadi pendeta) disebut “Diksa
Widhi”.
10. Sawitri Samskara merupakan upacara pemberian ilmu oleh
seorang guru kepada murid-muridnya sebagai awal dimulainya pemberian pelajaran.
Upacara ini merupakan bagian dari Brahmacari asrama.
Itulah kesepuluh bagian samskara yang biasanya paling sering
dilaksanakan oleh umat Hindu. Pelaksanaan samskara tersebut akan disesuaikan
dengan kondisi keluarga dan daerah tempat tinggal. Selain ksepeluh macam
samskara di atas juga terdapat beberapa jenis samskara lainnya seperti :
1. Simantonnayana
secara harfiah berarti berpisah dengan rambut). Upacara ini dilakukan pada bulan keempat atau kelima
kehamilan pertama seorang wanita. Simantonnayana dilakukan untuk melindungi ibu
pada masa kritis kehamilan. Samskara ini dilakukan untuk memohon perlindungan
bagi ibu dan bayi yang belum lahir serta mengusir setan dan roh yang mungkin
ingin membahayakan ibu dan bayinya, serta untuk memastikan kesehatan keduanya
dalam keadaan baik, keberhasilan dan kemakmuran bagi anak yang belum lahir.
2. Karnavedha yang
secara harfiah berarti menusuk telinga.
Pada masyarakat tradisional biasanya hal ini dilakukan dengan menggunakan duri
tertentu. Setelah itu mentega dioleskan pada luka. Hal ini berlaku untuk baik utnuk anak laki-laki maupun perempuan.
3. Vidyarambhana atau pendidikan awal. Vidya adalah
pengetahuan dan arambhana ini dimulai. Hal ini biasanya dilakukan sekitar usia
empat atau lima tahun.
4. Praishartha atau Vedarambha adalah proses pembelajaran Weda
dan Upanishad. Pada awal setiap periode akademik ada upacara yang disebut
Upakarma dan pada akhir setiap periode akademik ada lagi upacara yang disebut
Upasarjanam. Tetapi samskara ini biasanya jarang ditemui pada masyarakat Hindu
pada umumnya, dan lebih sering diterapkan pada keluarga brahmana.
5. Keshanta secara harfiah berarti menyingkirkan rambut
adalah upacara mencukur rambut yang pertama. Upacara ini bagi anak di usianya
yang ke 16 tahun.
7. Samavartana
berarti wisuda adalah upacara yang berhubungan dengan akhir pendidikan
formal. Upacara ini menandai akhir dari
masa menuntut ilmu. Hal ini juga menandai akhir dari masa brahmacari.
Umat
hindu di Indonesia melakukan upacara ngaben, nyepi dan potong gigi sementara di
india upacara ngaben di sebut dengan upacara antyesthi berarti sebagai
pemakaman dan orang yang sudah meningal juga dibakar seperti upacara ngaben di
Indonesia sementara nyepi dan potong gigi tidak ada di India. Tujuan samskara
di Indonesia dan India sama misalnya memohon kelahiran anak yang selamat,
memohon anak agar menjadi anak yang baik, memohon agar kepintaran tercapai ke
pikiran kita dan lain lainnya . perbedaanya yaitu: saat upacara
ngaben/antyesthi di India tidak ada jampana sementara di India orang yang sudah
meningall digletakan di kayu dan langsung dibakar (cremation). Pakaian
sembahyang di india juga beda, mereka tidak memakai udeng atau kebaya,
sementara mereka memakai kain india dan baju putih yang panjang. Sarana upacara
mereka tidak menggunakan makhluk hidup seperti telur, daging ayam sebagaimana
banten di Bali, dan kebanyakan mereka memakai bunga merah dan putih. Di india
mereka tidak memakai bije tetapi mereka mamakai abu merah atau putih di dahi
mereka.
kesimpulan
Baik Hindu Indonesia Hindu India mempunyai jenis jenis samskara mulai dari bayi dalam kandungan hingga meninggal tujuan dan sarana utama dalam melaksanakan ritual samskara adalah sama hanya cara pelaksanaanya yang berbeda disesuaikan dengan budaya dan adat istiadat setempat.
Langganan:
Postingan (Atom)